Tags
Jalan cemara. Jalan yang dulunya biasa saja, hanya sebuah jalan yang membelah dua petak sawah. Namun, waktu telah mengubahnya. Ia telah menjadi jalan beraspal, jalan raya utama yang strategis di perkampungan ini. Iringan pepohonan yang dulunya kecil itu telah tumbuh kokoh. Bertahun-tahun saya melewatinya, hampir setiap hari. Tatkala bulan Ramadhan tiba, setiap pagi selepas subuh, anak-anak asik menyusurinya. Beberapa anak bermain mercon (petasan) dan meninggalkan bekas-bekas petasan tanpa rasa bersalah. Potongan bekas petasan yang seperti kertas putih yang tersobek-sobek itu pun berhamburan di jalan. Itulah sekelumit kenangan tentang jalan ini.
Di sepanjang jalan yang saya namai jalan cemara (karena kedua sisi jalan raya ini diapit oleh pohon-pohon yang mirip cemara tetapi bukan cemara), kami menemukan sekumpulan tanaman sangga langit. Saya tidak tahu tanaman macam apakah sangga langit. Saya baru pertama kali mendengarnya dari Ana. Namun, tanaman itu tampak sekali tumbuh liar sebab hanya di suatu area dan menjalar tak beraturan. Ia merambat pada pohon terdekat. Sempat saya berpikir kok merambat seperti benalu ya.. Ternyata bukan benalu. Ia justru tanaman obat yang berkhasiat. Berkat Ana yang menemukannya pertama kali, kami akhirnya bisa membawa beberapa pulang.
Saya penasaran hingga melakukan pencarian tentang tanaman ini. Meskipun ia tampak seperti rerumputan liar, sangga langit adalah tanaman obat. Nama ilmiah tanaman ini ialah Ipomoea quamclit L. Nama sundanya rincik bumi, nama Jawanya tali-talian atau kantilan, dan nama cina-nya jing feng mao. Tanaman ini masuk ke dalam famili Convolvulaceae. Daun dari tanaman ini bermanfaat sebagai obat wasir dan penurun panas. Untuk meraciknya, ambil 8 gram daun segar dan cuci bersih. Lalu, rebus daun dengan 3 gelas air hingga mendidih. Air yang sudah dingin diminum dua kali sehari, masing-masing satu gelas (Hariana, 2006).
Referensi: Hariana, A. (2006). Tanaman Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya
Note:
Entah ini syair random apa, tiba-tiba ngalir aja.
Sangga Langit
untuk kedua sahabat kecilku: Isna dan Ana
Adakah kau lihat tubuh ini
bak rerumputan liar yang menghampar
pelan-pelan aku tumbuh menyebar
merangkak setapak demi setapak
menatap langit-langit
bilakah tubuhku bisa berdiri
setegak rumput-rumput tetangga
namun aku tak peduli
sebab Tuhan menciptaku begitu sempurna
mengakar
menjalar
mekar
aku pun belajar
kepada setiap pohon cemara
dan batang-batang yang rela
betapa Tuhan menciptaku begitu bijaksana
akar yang berpijak pada tanah
batang yang menjalar menjelajah
kelopak merah yang melangitkan asa.